KELOMPOK
3 (TIGA) KERAJAAN-KERAJAAN DI ALAM MELAYU
1. ILHAM TAUFIK : Champa Kerajaan Melayu yang Hilang di Dunia
2. ZAMAH SYAHRI : Kerajaan Kedah Tua di Tanah Semenanjung
3. RENALDI : Sriwijaya dan Majapahit Jadi Kerajaan Maritim Terkuat
4. NANDA DUWI SAPTIAN : Kerajaan Melaka dan Kerajaan Siak Penerus Jalan Keemasan
CHAMPA KERAJAAN MELAYU YANG HILANG DI DUNIA
Ratusan tahun sebelum Bangsa Melayu menangisi kehilangan pulau Singapura, kita telah lama kehilangan satu wilayah yang cukup luas, yaitu hampir meliputi keseluruhan pantai timur Indochina. Lebih menyakitkan, wilayah tersebut menyimpan seribu satu rahasia dan bukti tamadun awal rumpun Melayu yang pernah menguasai hampir keseluruhan kawasan daratan dan perairan Asia Tenggara. Negara tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah Champa, yang telah berhadapan dengan serangan dan migrasi besar-besaran secara berterusan selama ratusan tahun daripada satu kaum yang berasal dari selatan Negara China yaitu Dai-Viet. Kehilangan Champa sama seperti kehilangan Patani yang mewarisi keagungan Langkasuka juga akibat serangan dan migrasi berterusan daripada kaum Thai (Sukotai, Ayutthaya dan Chakri) yang juga berasal dari selatan China. Champa, atau apa jua panggilan kepadanya, seperti Lin Yi dan Houan-Wang (catatan China), Kembayat Negara (Syair Siti Zubaidah – Perang China), dan Tawalisi (catatan Ibnu Battutah) kini hanya tinggal sejarah dan penduduknya hidup bertaburan terutamanya di Vietnam serta Kemboja dan menjadi kaum minoritas di bumi sendiri.
Terakhir kali Champa berjaya bangkit membela nasib sendiri adalah semasa di bawah pemerintahan Raja Agung mereka yaitu Che Bo Nga, yang dinyatakan dalam lagenda Cham sebagai Binasuar, manakala Sejarah Dinasti Ming mencatatkan namanya sebagai Ngo-Ta-Ngo-Tcho, memerintah mulai sekitar tahun 1360 Masehi. Malangnya, kebangkitan Che Bo Nga ibarat seperti ‘sinar matahari yang penghabisan sebelum terbenam’. Di bawah pimpinan baginda, Champa kembali bangkit dari tahun 1361 hingga 1390 Masehi dengan melancarkan beberapa serangan balas kepada pihak Dai-Viet dan memenanginya. Malangnya, baginda akhirnya mangkat pada bulan Februari 1390 Masehi akibat pengkhianatan daripada salah seorang pengawalnya sendiri yang menyebabkan perahu baginda dikepung oleh tentera Vietnam. Apa yang menarik, kebanyakan pengkaji sejarah bersepakat bahawa Sultan Zainal Abidin, tokoh yang dinyatakan di dalam sebuah hikayat Melayu lama yaitu Syair Siti Zubaidah merujuk kepada Che Bo Nga itu sendiri, sedangkan kebanyakan pengkaji sejarah Barat sepakat Raja-raja Champa mulai memeluk Islam bermula pada abad ke-17 yaitu berdasarkan catatan seorang paderi bernama M. Mahot yang bertugas di Champa pada tahun 1676 hingga 1678 Masehi dan mengatakan bahawa Raja dan sebahagian besar penduduk Negara Champa telah menerima agama Islam yang disebarkan oleh orang Melayu yang telah ramai berhijrah dan menetap di sana. Laporan Mahot ini telah disahkan oleh seorang paderi lain bernama M. Freet saat dia menyaksikan sendiri keIslaman Raja Champa dan telah dihadiahkan sebuah Al-Quran.
Kerajaan Champa adalah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Vietnam Selatan. Kerajaan yang awalnya bercorak Hindu-Buddha ini diperkirakan berdiri sejak akhir abad ke-2, dan bertahan hingga abad ke-19. Dalam perkembangannya, Kerajaan Champa berubah menjadi kerajaan Islam yang memiliki pengaruh di Asia Tenggara. Bahkan, kerajaan ini memiliki hubungan dengan kerajaan kerajaan di Nusantara dan berpengaruh terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Sejarah berdirinya
Kerajaan Champa merupakan kelanjutan dari Kerajaan Lam Ap atau Linyi, yang sudah ada sejak akhir abad ke-2, tepatnya pada tahun 192. Sebelumnya, wilayah Vietnam merupakan pecahan dari koloni Tiongkok, yang kemudian memberontak dan melepaskan diri. Tokoh yang memberontak tersebut adalah Khu Lien, yang akhirnya mendirikan Kerajaan Lam Ap pada akhir abad ke-2. Kerajaan Lam Ap ini berkembang dan berubah namanya menjadi Kerajaan Champa, yang pada abad ke-14 menjadi kerajaan Islam. Hanya saja, perubahan dari Kerajaan Lam Ap menjadi Champa sangat minim catatan sejarahnya.
Diketahui bahwa penguasa pertama Champa adalah Bhadravarman I, yang memerintah sekitar tahun 380 hingga 413. Pasa awalnya, pusat pemerintahan Kerajaan Champa berada di Kota Indrapura. Akan tetapi, dalam perjalanannya, ibu kota kerajaan beberapa kali dipindahkan.
Masa kejayaan
Kerajaan Champa mengalami periode kejayaan pada abad ke-7 hingga abad ke-10, di bawah pemerintahan Raja Prithindravarman hingga Raja Jaya Simhavarman II. Indrapura, yang merupakan pusat pemerintahan, menjadi kota yang maju karena didukung oleh pelabuhannya yang menjadi tempat perdagangan internasional. Selain itu, Champa juga berhasil menguasai perdagangan rempah rempah dan sutra di Asia Tenggara.
Berubah menjadi kerajaan Islam
Sebelum masuknya pengaruh Islam pada abad ke-11, Kerajaan Champa merupakan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha. Masuknya Islam dibuktikan dengan adanya batu nisan Abu Kamil yang berangka tahun 1039. Namun, catatan sejarah menjelaskan bahwa Raja Che Bong Nga, yang memerintah antara 1360-1390, adalah Raja Champa pertama yang beragama Islam.
Raja Che Bong Nga diislamkan oleh Habib Sayyid Husein Jumadil Kubro, yang berasal dari Timur Tengah. Setelah itu, Che Bo Nga berganti nama menjadi Sultan Zainal Abidin, dan Champa berubah menjadi kerajaan Islam. Pengaruh Islam semakin berkembang di Champa pada abad ke-15, di mana penduduknya banyak yang menjadi Muslim. Kemudian, pada sekitar abad ke-17, banyak bangsawan Champa yang mulai memeluk agama Islam.
Hubungan Kerajaan Champa dengan Nusantara
Champa banyak disebutkan dalam narasi sejarah Nusantara. Salah satu sumber menyebut hubungannya dengan Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya, yang merupakan kerajaan maritim, sangat penting bagi Champa sebagai pusat transit mancanegara.
Kedua kerajaan ini bahkan menjadi sekutu dan saling melindungi dari berbagai ancaman yang datang. Misalnya ancaman perompak yang sempat menyerang ke pusat Champa. Di masa berikutnya, Champa menjalin relasi dengan kerajaan di Sumatera dan Jawa. Disebutkan bahwa ketika Kerajaan Champa diperintah oleh Jaya Simhawarman III, turut andil dalam menghalangi serbuan Mongol ke Jawa.
Disebutkan bahwa ketika Kerajaan Champa diperintah oleh Jaya Simhawarman III, turut andil dalam menghalangi serbuan Mongol ke Jawa. Hal ini dilakukan karena Raja Kertanegara dari Singhasari, menikahkan Simhawarman dengan putrinya, Putri Tapasi. Hubungan Kerajaan Champa dengan Jawa berlanjut hingga ke masa Kerajaan Majapahit. Pasalnya, putri Champa yang bernama Darawati diketahui menjadi permaisuri dari Prabu Brawijaya V. Pernikahan mereka melahirkan Raden Patah, yang nantinya mendirikan Kerajaan Demak.
Tempat asal Wali Songo
Berkembangnya Islam di Champa juga berpengaruh besar terhadap keislaman di Nusantara, khususnya Jawa. Pasalnya, beberapa Wali Songo, yang menjadi penyebar Islam di Jawa, adalah keturunan Kerajaan Champa. Putra Jumadil Kubro yang bernama Ibrahim Zainuddin Al Akbar As Samarqandiy atau Ibrahim Asmoro, menikah dengan Chandra Wulan, putri Raja Champa. Mereka adalah orang tua Sunan Ampel. Tidak hanya itu, Sultan Maulana Sharif Abdullah Mahmud Umdatuddin atau Wan Bo Tri Tri, yang meneruskan jabatan Raja Champa periode 1471-1478, menikah dengan Nyi Mas Rara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Mereka mempunyai putra yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati adalah dua anggota Wali Songo yang berperan besar dalam mengislamkan Jawa.
Runtuhnya Kerajaan Champa
Selama berdiri, Kerajaan Champa memiliki musuh abadi, yakni Bangsa Khmer yang berasal dari Kamboja. Konflik antara Champa dan Khmer berlangsung sejak abad ke-10 hingga abad ke-15, ketika Kota Vijaya dihancurkan oleh Khmer. Kehancuran Vijaya ini berdampak pada tewasnya sekitar 60.000 orang dan sisanya dijadikan budak.
Akibatnya, banyak masyarakat Islam Champa yang kemudian bermigrasi ke Kamboja, Malaka, Aceh, dan daerah lain di Sumatera. Selain konflik dengan Khmer, Champa juga mengalami serangan dari penguasa lain di Vietnam. Riwayat Kerajaan Champa berakhir pada 1832, setelah dihapuskan oleh Kaisar Minh Mang dari Dinasti Nguyen.
Peninggalan Kerajaan Champa
Kerajaan Champa memiliki beberapa peninggalan yang masih bisa disaksikan hingga saat ini. Berikut ini beberapa di antaranya.
Menara Po Klong Garai
Candi atau Menara Po Klong Garai didirikan oleh Raja Jaya Simhavarman III atau Che Man (1285 1307), sebagai penghormatan terhadap Raja Po Klong Garai (1151-1205). Hal ini karena Raja Po Klong Garai berhasil menyelesaikan konflik antara Champa dengan Khmer tanpa pertumpahan darah.
Candi Po Nagar
Candi Po Nagar, yang berada di Kota Kauthara (sekarang Kota Nha Trang), didedikasikan untuk Po Nagar, yang dianggap sebagai penemu daripada bangsa Cham dan seorang dewi yang akan merawat bumi.
Situs My Son
Situs My Son atau Mi Son berada di Kota Hoi An, yang didirikan oleh Raja Dhadravarman I atau Pham Ho Dat (380-413). Di dalam situs ini, terdapat sekitar 70 candi yang kemudian hilang saat pecah Perang Vietnam. Situs My Son atau Mi Son dahulu digunakan sebagai pusat keagamaan dan makam untuk tokoh agama dan pejabat kerajaan yang dianggap suci.
Situs Ding Duong
Situs Dong Duong dibangun pada masa pemerintahan Raja Jaya Indravarman I atau Dich Loi Nhan di Ban (959-965). Situs ini sempat rusak berat akibat Perang Vietnam yang berlangsung selama dua dekade. Sekarang, situs ini telah dipugar dan terdiri dari lapangan, aula pertemuan, candi suci, dan dua patung perunggu.
By: ILHAM TAUFIK
************************************************************************************************************************************************
KERAJAAN KEDAH TUA
Kerajaan Kedah Tua merupakan salah satu kerajaan awal terkenal yang terletak di Semenanjung Malaya. Ia juga dikenal sebagai Kataha, Kadaram, Sai, Kalah, Kalah Bar dan Kalagram. Menurut catatan I-Tsing (Yijing, 635-715, seorang biksu di Dinasti Tang) dari Tiongkok, Kedah Tua disebut juga dengan Cheh-Cha, Kerajaan Kedah Tua diyakini dimulai pada abad ke-3. Pada tahap awal, Sungai Mas merupakan pelabuhan utama namun kemudian dialihkan ke Lembah Bujang.
Kerajaan Kedah Tua ini bersama dengan Kerajaan Langkasuka kemungkinan besar merupakan kerajaan paling awal di Malaya. Dimana Langkasuka sudah ada lebih awal dari Kedah Lama yaitu sekitar abad pertama Masehi. Legenda Melayu menyatakan bahwa Langkasuka didirikan di Kedah, dan kemudian dipindahkan ke Pattani.
Gunung Jerai menjadi petunjuk atau petunjuk bagi para pedagang asing untuk singgah di pelabuhan Lembah Bujang atau di Sungai Mas. Pelabuhan Kedah Lama selama ini menjadi tempat pertukaran barang, persinggahan dan tempat perbaikan bagi para pelaut dan pedagang dari Arab, India, Sri Lanka, Persia dan Eropa sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Timur. Selain itu juga menjadi pusat perdagangan berbagai produk lokal yang dikoleksi warga sekitar seperti timah, emas, beras, lada hitam, gading, damar, rotan, tanduk dan lain sebagainya. Meskipun merupakan kerajaan samudera, namun juga merupakan penghasil beras yang terkenal karena diberkahi dengan dataran rendah yang datar dan luas.
Kerajaan Kedah Lama mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan al-Mutawakil (847-861). Hal ini dibuktikan melalui ditemukannya uang perak pada masa Sultan al-Mutawakil, manik-manik yang dibawa dari India dan barang pecah belah dari Timur Tengah. Dengan adanya dua kerajaan tua ini di nusantara, maka dapat membantah pernyataan bahwa ras Melayu adalah ras pendatang namun sebaliknya merupakan ras asli di tanah asal tanah semenanjung Melayu.
Perkembangan budaya dan pemikiran masyarakat di Kedah Tua sejak awal abad merupakan suatu keistimewaan dibandingkan kerajaan Melayu lainnya di Malaya. Kebanyakan kajian mengenai kerajaan Melayu berfokus pada kerajaan Melayu Malaka, sedangkan kerajaan Kedah Tua juga dipandang mempunyai warisan peradaban yang besar dan jauh lebih awal dibandingkan kerajaan Melayu Malaka. Dimulai pada abad ke-2 M, perkembangan perdagangan dan bisnis di Kedah Tua sudah aktif (Nasha Rodziadi Khaw, Nazarudin Zainun, et.al., 2008).
Studi arkeologi membuktikan keberadaan pelabuhan kuno di lembah sungai yang menjadi saksi laju perdagangan pada zaman dahulu (Mohd Hasfarisham Abd. Halim, Suhana Yusof, et.al., 2011)
Kearifan lokal masyarakat Kedah Lama merupakan ketrampilan yang cukup berbeda dengan kerajaan Melayu lainnya. Keterampilan dan teknologi dalam peleburan besi, batu bata dan gerabah antara lain membuktikan kehidupan masyarakat yang beradab sejak awal abad Masehi. Kedah Tua menjadi penghasil komoditas pada masa itu dengan memperdagangkan berbagai barang ke peradaban lain. Hasil interaksi tersebut dipandang semakin memajukan perekonomian pemerintah Kedah Tua. Transaksi yang digunakan di pelabuhan Kedah Tua menggunakan mata uang untuk memudahkan bisnis dan perdagangan. Era kejayaan kerajaan Kedah Tua berlangsung hingga antara abad ke-13 hingga ke-14 Masehi (Nasha Rodziadi Khaw, Nazarudin Zainun, et.al., 2008).
Kedah Tua mengalami masa kemunduran karena beberapa faktor. Namun kerajaan Kedah Tua masih tetap eksis meski kalah gemilang dibandingkan zaman sebelumnya. Sejarah Kedah mulai mendapatkan nafas baru setelah masuknya pengaruh Agama Islam.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Melayu di Kedah Tua telah mencapai tahap kehidupan lanjut sejak awal abad Masehi. Penemuan berbagai artefak oleh para arkeolog membuktikan tingginya peradaban masyarakat setempat dari berbagai aspek termasuk kemajuan teknologi dan keterampilan lokal. Dari tafsir sejarah, keempat faktor yaitu letak geografis Kedah Lama, patronase kerajaan-kerajaan besar di wilayah Melayu, sistem transaksi ekonomi yang baik dan komoditas lokal menjadi daya tarik para pedagang asing untuk singgah di Kedah Tua. Secara langsung, faktor-faktor tersebut menjadi katalis munculnya pelabuhan kuno perdagangan internasional di Kedah Tua antara abad ke-2 M hingga abad ke-13 M. Pelabuhan internasional yang pernah menjadi tempat aktivitas perdagangan pesat dengan peradaban asing. Kajian ini secara umum memberikan implikasi dalam meningkatkan identitas ras Melayu Kedah Tua sebagai kerajaan Melayu Tua yang hebat dalam bisnis dan perdagangan sejak awal abad Masehi hingga muncul sebagai pelabuhan Tua internasional.
By: ZAMAH SYAHRI
************************************************************************************************************************************************
SRIWIJAYA DAN MAJAPAHIT JADI KERAJAAN MARITIM TERKUAT
Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya memang dikenal sebagai dua dari kerajaan maritim terkuat dalam sejarah Nusantara. Keduanya memiliki pengaruh yang luas di kawasan Asia Tenggara pada masa kejayaannya.
Persamaan dan Perbedaan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya:
Persamaan:
1) Kerajaan Maritim: Baik Majapahit (abad ke-14 hingga 16) maupun Sriwijaya (abad ke-7 hingga 13) berpusat di pesisir pantai dan memiliki kekuatan maritim yang kuat.
2) Pusat Perdagangan: Kedua kerajaan menjadi pusat perdagangan penting di Nusantara dan Asia Tenggara, mengendalikan jalur perdagangan maritim dan menjalin hubungan dengan kerajaan lain.
3) Agama: Hindu-Buddha menjadi agama mayoritas di kedua kerajaan, dengan pengaruh Buddha yang kuat di Sriwijaya dan Hindu di Majapahit.
4) Peninggalan Budaya: Kedua kerajaan meninggalkan banyak peninggalan budaya yang bernilai sejarah tinggi, seperti candi, prasasti, dan karya seni.
Perbedaan:
1) Letak Geografis: Sriwijaya berpusat di Palembang, Sumatera Selatan, sedangkan Majapahit berpusat di Trowulan, Jawa Timur.
2) Masa Kejayaan: Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya di abad ke-8 dan 9, sedangkan Majapahit di abad ke-14 dan 15.
3) Sistem Pemerintahan: Sriwijaya dipimpin oleh seorang raja dan dewan penasihat, sedangkan Majapahit dipimpin oleh seorang raja tunggal dengan sistem birokrasi yang kompleks.
4) Pengaruh Wilayah: Sriwijaya lebih fokus pada perdagangan maritim dan pengaruh di Asia Tenggara, sedangkan Majapahit memiliki ambisi politik yang lebih luas dan berusaha menyatukan Nusantara.
5) Peninggalan Budaya: Sriwijaya terkenal dengan candi-candi Buddha seperti Candi Muara Takus dan Candi Kedukan Bukit, sedangkan Majapahit terkenal dengan candi-candi Hindu seperti Candi Prambanan dan Candi Singosari.
Kesimpulan:
Meskipun memiliki beberapa persamaan, Majapahit dan Sriwijaya merupakan dua kerajaan yang unik dengan kejayaannya masing-masing. Keberadaan mereka menjadi bukti sejarah maritim Nusantara yang gemilang dan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit:
Kekuatan Maritim yang Mengagumkan Baik Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 hingga 13) maupun Kerajaan Majapahit (abad ke-14 hingga 16) telah mengukir sejarah maritim Nusantara dengan gemilang. Keberhasilan mereka sebagai kerajaan maritim terkuat tak lepas dari berbagai faktor yang saling terkait dan memperkuat satu sama lain. Berikut penjelasan lengkapnya:
Faktor-Faktor yang Mendukung Kekuatan Maritim Sriwijaya:
1. Letak Geografis Strategis:
· Terletak di Palembang, Sumatera Selatan, Sriwijaya menguasai Selat Malaka, jalur perdagangan maritim vital di Asia Tenggara.
· Posisi ini memungkinkan Sriwijaya untuk mengontrol dan memungut upeti dari kapal-kapal dagang yang melintas.
2. Kekuatan Militer Laut yang Tangguh:
· Sriwijaya memiliki armada laut yang besar dan terlatih, dilengkapi dengan berbagai jenis kapal perang.
· Kekuatan laut ini digunakan untuk melindungi wilayah kerajaan, menjaga jalur perdagangan, dan bahkan melakukan ekspansi ke kerajaan lain.
3. Jaringan Diplomasi dan Perdagangan yang Luas:
· Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, India, dan Tiongkok.
· Jaringan ini memperlancar perdagangan dan memperkuat pengaruh Sriwijaya di kawasan Asia Tenggara.
4. Kemajuan Teknologi Maritim:
· Sriwijaya memiliki pengetahuan maritim yang maju, termasuk dalam pembuatan kapal, navigasi, dan astronomi.
· Kemajuan ini memungkinkan Sriwijaya untuk menjelajahi wilayah baru dan memperluas jangkauan perdagangannya.
5. Peran Penting Buddha:
· Agama Buddha menjadi agama mayoritas di Sriwijaya dan memberikan pengaruh besar pada budaya dan politik kerajaan.
· Biara-biara Buddha di Sriwijaya menjadi pusat pendidikan dan perdagangan, menarik para cendekiawan dan pedagang dari berbagai daerah.
Faktor-Faktor yang Mendukung Kekuatan Maritim Majapahit:
1. Kepemimpinan Gajah Mada:
· Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya bercita-cita untuk menyatukan Nusantara.
· Hal ini mendorong perluasan wilayah Majapahit, termasuk wilayah maritim, dan memperkuat pengaruhnya di laut.
2. Kekuatan Militer yang Terpusat:
· Majapahit memiliki sistem militer yang terpusat dan terorganisir dengan baik.
· Pasukan Majapahit terkenal dengan kekuatannya dan menjadi salah satu faktor kunci dalam perluasan wilayah maritim kerajaan.
3. Diplomasi dan Pernikahan Politik:
· Majapahit menjalin hubungan diplomatik dan pernikahan politik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan Asia Tenggara.
· Strategi ini memperkuat pengaruh Majapahit dan memperluas jangkauan maritimnya.
4. Penguasaan Wilayah Pesisir:
· Majapahit menguasai banyak wilayah pesisir di Jawa dan pulau-pulau lain, memungkinkannya untuk mengontrol jalur perdagangan maritim dan sumber daya maritim.
5. Perkembangan Teknologi Maritim:
· Majapahit mengembangkan teknologi maritim baru, seperti pembuatan kapal perang yang lebih besar dan kuat.
· Hal ini memungkinkan Majapahit untuk mendominasi laut dan memperluas pengaruhnya di wilayah maritim.
Kesimpulan:
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit mencapai puncak kejayaan maritim mereka melalui kombinasi berbagai faktor, mulai dari letak geografis strategis, kekuatan militer laut yang tangguh, jaringan perdagangan yang luas, hingga kemajuan teknologi maritim dan kepemimpinan yang visioner. Keberhasilan mereka menjadi bukti nyata kejayaan maritim Nusantara di masa lampau.
By: RENALDI
************************************************************************************************************************************************
KERAJAAN MELAKA DAN KERAJAAN SIAK PENERUS JALAN KEEMASAN
Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Nusantara yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kekaisaran, kadang-kadang hidup berdampingan dengan damai sementara di lain waktu mereka berada pada kondisi berperang satu sama lain. Nusantara yang luas ini kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik seperti yang dimiliki Indonesia sekarang.
Jauh sebelum Indonesia resmi merdeka para masyarakat kuno nusantara telah mengenal sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Kerajaan di Nusantara didirikan oleh para pedagang dari negeri tetanga dan negeri lainya seperti China, India, dan Arab. Indonesia yang saat itu menjadi jalur strategis pelayaran menjadi salah satu faktor para pedagang masuknya aliran Hindu-Budha yang dibawa oleh pedagang dari Cihna yang menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan di Indonesia.
Salah satu kerajaan yang pernah berdiri dan berkuasa di Pulau Sumatera adalah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kebesaran kerajaan ini dapat dilihat dari Istana Siak Sri Indrapura yang masih berdiri hingga saat ini. Istana Siak Sri Indrapura berlokasi di Sri Indrapura, Kp. Dalam, Kabupaten Siak, Riau. Istana ini memiliki nama lain yaitu Istana Asserayyah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur. Saat ini, Istana Siak Sri Indrapura sudah berstatus sebagai cagar budaya yang ditetapkan pada tanggal 3 Maret 2004.
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan. Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan.
Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke 12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta.Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.Makam Sultan Syarif Kasim II terletak di tengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya di samping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.
Istana Siak ini terdiri dari dua lantai dan berdenah segi empat silang. Gaya arsitektur bangunannya tampak menggabungkan gaya Melayu, Arab, dan Eropa. Setiap sudut bangunan terdapat pilar bulat dengan ujung puncaknya ada hiasan burung garuda. Pindu dan jendela istana dirancang dengan bentuk kubah serta dihiasi mozaik kaca. Ada 15 ruangan dari dua lantai Istana Siak. Lantai satu terdiri dari enam ruangan. Sementara lantai dua terdiri dari sembilan ruangan. Adapun enam ruangan di lantai satu berfungsi sebagai tempat sidang dan ruangan untuk menerima tamu. Sedangkan sembilan ruangan pada lantai dua berfungsi sebagai tempat peristirahatan Sultan dan tamu-tamu kerajaan. Saat ini Istana Siak Sri Indrapura berfungsi sebagai destinasi wisata sejarah di Provinsi Riau. Istana ini menjadi museum tempat menyimpan benda-benda peninggalan Kerajaan Siak.
By: NANDA DUWI SAPTIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar